Jalan-jalan Bareng Abah Alwi
REPUBLIKA.CO.ID, “CSW habis!!!CSW habis!!!” Begitu teriakan yang tidak asing di telinga para penumpang bus kota ketika hendak memasuki kawasan terminal Blok M. Tepat di perempatan besar traffic light sekitar kantor Kejaksaan Agung, bus kota kerap menurunkan penumpangnya.
Praktis, daerah di perempatan kantor Kejaksaan Agung selalu padat oleh lalu lalang manusia Jakarta yang hendak pulang maupun berangkat kerja.
Ya, hampir semua penumpang menyebut daerah di perempatan kejaksaan itu dengan nama CSW. Namun apakah setiap masyarakat Jakarta tahu arti di balik nama tempat yang hanya tiga huruf itu? Apakah benar jalan itu bernama jalan CSW?
Wartawan senior republika, Alwi Shahab atau yag akrab dipanggil Abah Alwi coba mengajak kita menuju jalur CSW dengan meneropong "mesin waktu" sejarah di tahun 1948 untuk mengungkap "misteri" dibalik perempatan CSW.
Abah berujar, "Selama ini kan kita selalu mendengar kondektur bus nyebut CSW..CSW…CSW…Sebenarnya CSW itu sendiri adalah nama singkatan bahasa Belanda. Kepanjangannya adalah Centrale Stichting Wedropbow,"
CSW adalah perusahaan pemerintahan Belanda di bidang properti. CSW mendirikan kantor di jalan yang sekarang menjadi perempatan lampu merah Blok M, atau tepatnya di seberang kantor kejaksaan Agung pada 1 Juni 1948.
Jakarta tempo dulu
Kehadiran CSW di perempatan Blok M menjadi simbol penting bagi Belanda untuk menjajah Indonesia setelah perang Dunia Kedua. Namun, jangan membayangkan kondisi CSW saat ini sama dengan CSW di masa Belanda.
CSW, kata Abah, adalah tempat yang sengaja didirikan Belanda untuk membuka daerah bernama Kebayoran Baru. Dahulu di daerah sekitar CSW, belum ada gedung gedung atau pusat perbelanjaan seperti kini di sekitar jalan Mahakam.
"Di sana hanya ada rumah dan tempat berteduh bagi para pekerja yang hendak membangun Kebayoran Baru," kata Abah.
Tidak cuma jadi tempat tinggal, tapi CSW jadi basis material pembangunan. Di kawasan CSW inilah alat-alat berat untuk membangun Kebayoran Baru ditampung, termasuk truk pengangkut material, mesin gilas, aspal, dan sebagainya.
CSW ini pun jadi sentral untuk membangun secara perlahan Kebayoran Baru. Sebelumnya Kebayoran Baru masih berupa hutan dan rawa. Dengan hadirnya CSW, Belanda kemudian coba menyulap hutan Kebayoran baru menjadi pemukiman.
"Jadi CSW jadi simbol kolonialisme Belanda pasca PD II karena dengan pembangunan pemukiman di Kebayoran Baru, mereka ingin kembali menguasa Indonesia," Kebayoran Baru pun diproyeksikan sebagai kota baru untuk menampung pejabat dan masyarakat Belanda di Batavia.
CSW di perempatan Blok M jadi tonggak awal lahirnya kawasan kebayoran Baru. Kebayoran Baru, kata wartawan senior Republika "Abah" Alwi Shahab, dibangun sebagai Kota satelit baru. Sebab, Belanda memprediksi bakal banyak pendatang baru ke Batavia seusai PD II.
Prediksi Belanda, sekitar 2,5 juta pendatang akan memasuki Jakarta. Angka yang terbukti di periode berikutnya.
Namun sesusai perjanjian Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 mengubah peta perjalanan CSW. Seusai Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pembangunan Kebayoran baru berpindah tangan dari CSW kepada pemerintah Indonesia. Nama CSW pun beralih menjadi "Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran" pada 1 Januari 1952.
CSW terus berkembang di tahun 1950-an bersamaan dengan pembangunan Kebayoran Baru. Saat dibangun, Kebayoran Baru dibagi menjadi blok-blok pembangunan. Ada Blok A hingga Blok S. Kini hanya ada beberapa nama blok yang bertahan sebagai nama tempat, salah satunya Blok M. Nah, hadirnya Blok M sebagai terminal dan pusat perbelanjaan pada 1950-an makin membuat padat wilayah CSW.
Di tahun 1960-an Blok M sudah menjadi sentral kegaiatan masyarakat karena jadi pusat transportasi di Jakarta. "Di sana jalur kendaraannya sangat ramai dari mulai bus tujuan Blok M Jawang hingga Jatinegara," kata Abah.
Bersamaan dengan itu, CSW pun jadi wilayah yang sering di lalui masyarakat. Wilayah CSW dan Blok M pun semakin berkembang di tahun 1962 saat Indonesia jadi tuan rumah pesta olahraga Ganefo. Letak yang berbatasan langsung dengan pusat kegiatan Ganefo di Senayan (utara CSW), membuat wilayah CSW berkembang pesat hingga ke selatan kebayoran Baru.
Sejak itulah mulailah terjadi pembangunan besar-besaran real estate dan perumahan masyarakat.
Blok M Square
CSW di perempatan Blok M jadi tonggak awal lahirnya kawasan kebayoran Baru. Kebayoran Baru, kata wartawan senior Republika "Abah" Alwi Shahab, dibangun sebagai Kota satelit baru. Sebab, Belanda memprediksi bakal banyak pendatang baru ke Batavia seusai PD II.
Prediksi Belanda, sekitar 2,5 juta pendatang akan memasuki Jakarta. Angka yang terbukti di periode berikutnya.
Namun sesusai perjanjian Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 mengubah peta perjalanan CSW. Seusai Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pembangunan Kebayoran baru berpindah tangan dari CSW kepada pemerintah Indonesia. Nama CSW pun beralih menjadi "Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran" pada 1 Januari 1952.
CSW terus berkembang di tahun 1950-an bersamaan dengan pembangunan Kebayoran Baru. Saat dibangun, Kebayoran Baru dibagi menjadi blok-blok pembangunan. Ada Blok A hingga Blok S. Kini hanya ada beberapa nama blok yang bertahan sebagai nama tempat, salah satunya Blok M. Nah, hadirnya Blok M sebagai terminal dan pusat perbelanjaan pada 1950-an makin membuat padat wilayah CSW.
Di tahun 1960-an Blok M sudah menjadi sentral kegaiatan masyarakat karena jadi pusat transportasi di Jakarta. "Di sana jalur kendaraannya sangat ramai dari mulai bus tujuan Blok M Jawang hingga Jatinegara," kata Abah.
Bersamaan dengan itu, CSW pun jadi wilayah yang sering di lalui masyarakat. Wilayah CSW dan Blok M pun semakin berkembang di tahun 1962 saat Indonesia jadi tuan rumah pesta olahraga Ganefo. Letak yang berbatasan langsung dengan pusat kegiatan Ganefo di Senayan (utara CSW), membuat wilayah CSW berkembang pesat hingga ke selatan kebayoran Baru.
Sejak itulah mulailah terjadi pembangunan besar-besaran real estate dan perumahan masyarakat.
0 comments:
Post a Comment